Illustrasi Ki Ageng Pandanaran saat membuka pegisikan di sekitar Bubakan, sisi 2 bukit tertinggi kota Semarang saat itu : Bukit Pragota dan Bukit-bukit Sam Po Kong
Semarang 469! Menjelang ulang tahun ke 469 tahun Kota Semarang ini makin banyak kolaborasi kegiatan antar pemerintah kota, warga, komunitas dan netizen. Salah satunya adalah kegiatan lomba logo 469 yang diselenggarakan oleh Forum Wartawan Kota. Setelah tahun lalu sukses diikuti oleh lebih dari 100 desainer kota dan luar Kota Semarang, tahun ini berharap peserta akan melebihi dari peserta tahun kemarin. Namun kiranya dalam menghasilkan sebuah logo yang baik dan diterima oleh banyak pihak itu gampang-gampang sulit apalagi dengan kisi-kisi lomba yang sangat bebas. Mari kita lihat hasilnya dalam 1 minggu kedepan. Yang pasti salah satu acuan dalam riset sebuah logo, nilai sejarah itu tidak bisa ditinggalkan, karena dengan sejarah kita tidak menjadi sebuah jatidiri tanpa identitas. Sejarah adalah batu pijakan utama yang disesuaikan dengan perubahan untuk mengadaptasi kondisi yang kontekstual. Atas perubahan kekinian yang terjadi didalam jati diri kota, harus seiring diperkuat dengan sejarah sebagai inti yang tidak boleh dilepas begitu saja. Peradaban sebuah wilayah dapat dilihat dari kotanya, maka sejarah Semarang modern bisa ditarik terentang semenjak abad ke 17 ketika Sunan Amangkurat II menyerahkan wilayah Semarang kepada VOC pada 1678. Jika mau lebih lama lagi node sejarah itu bisa dirunut dari sejumput pemukiman awal yang berada di daerah Tirang Amper di sebelah timur perbukitan Bergota yang menjadi titik berkembangnya Ki Ageng Pandanaran bersama pengikutnya yang mendapatkan tugas untuk menyebarkan Islam ke para ajar yang bertempat tinggal disekitar daerah itu pada 1476. Setelah itu kota Semarang tumbuh menjadi kota pelabuhan yang terpenting di Jawa. ‘Colonial Port City Par Excellence” terbesar kedua setelah Batavia. Kosmopolitan dengan semakin banyaknya kapal dari berbagai penjuru merapat di pelabuhan ini. Posisi kota yang tumbuh berkembang ini didukung oleh perluasan daerah hinterland sepanjang abad 19 didukung oleh jaringan jalur kereta api yang menghubungkan vorstenlanden Jogjakarta dan Surakarta, serta jalur groote postweg di pantura makin menasbihkan kosmopolitannya kota Semarang. Sejarah bukan masa lalu untuk bernostalgia semata. Jati diri yang dikristalisasikan dari nilai-nilai luhur yang berpijak pada masa lalu agar kita tidak tercerabut dari akar sejarah itu perlu terus digali. Dasar pijakan inilah yang diterjemahkan kedepan tentang branding jati diri kota Semarang. |