Beberapa waktu lalu di kota lama Semarang, cukup ramai dibicarakan beberapa aktivitas pemasangan informasi. Informasi ini dikemas dalam bentuk satire akan sejarah plesetan, dari berbagai lokasi dan jalan di dalam kawasan tersebut.
Hal ini seolah mengemas kegelisahan warga, yang peduli dengan latar belakang sejarah yang ada di kawasan tersebut. Beberapa membuat cerita, Rara Mendut dan Thomas Karsten. Mereka tentu tak pernah bersua di lini masa yang sama. Kosmos menyatukan mereka hanya jika kewajaran sudah terasa cukup melewati batasnya. Mehilang dan tersesat tanpa orientasi menjadi relevan dengan kondisi saat ini.
Kota ini banyak sekali tergagap mencoba mencari bentuknya lagi setelah pasca pandemi ini. Dibangunnya berbagai bentuk atribut street furniture kota dan ruang terbuka, memperlihatkan keengganan untuk menggali memanen lebih dalam bentuk dan potensi lain yang ada di kota ini.
‘Orientasi prencanaan kota selama ratusan tahun terakhir memang terasa diarahkan untuk mengakomodasi tumbuhnya industrialisasi, mega proyek dianggap lebih utama dibanding penciptaan ekosistem yg manusiawi. Monetisasi tanah dianggap lebih penting daripada interaksi komunitas’ Yuswohady – 2020
Warga memang butuh hiburan yang cepat dan cakep, namun kita juga perlu membawa mereka mengerti akan identitas yang di miliki nya. Warga tak harus menavigasi kota-kota nya, dengan peta dari kota negara lain. Jangan sampai terjadi, jika warga ingin tahu apa yang ada di sana, mereka tidak akan pernah menemukan apa pun. Kecuali sejumlah kenangan foto yang membekas di pikiran dan google maps kita.
Mari, menyetel ulang tombol psikogeografi kita ke frekuensi awal dan bersiaplah untuk terkagum-kagum lagi.